TROUBLEMAKER 1

tm3

Troublemaker
by Song Haneul


PART 1

Seoul Central Hospital

6.13 AM

Tiffany Hwang. Ukiran nama itu terpatri dengan indah diatas name tag yang terpasang pada jas putih yang dikenakannya. Wajahnya terlihat cantik walau tanpa polesan make-up yang berlebihan dipagi yang sejuk ini. Kedua tangannya dimasukkan kedalam kantung jas putih yang dikenakannya. Senyum manisnya selalu bersemi saat matanya menatap orang-orang disekelilingnya yang melalui dan menyapanya. Bukan hanya sekedar membalas sapaan orang-orang itu dengan suaranya yang lembut. Gadis cantik berusia 25 tahun itu pun, tak segan membungkukkan badan pada orang-orang tersebut. Semua orang yang melihatnya, begitu terbawa energi positif dari dokter muda dan cantik itu. Senyumnya yang menawan selalu terlukis dari bibir ranum gadis berperawakan mungil tersebut dan tak lupa gadis itu menemilki keistimewaan yang jarang dimiliki oleh banyak orang. Dua buah lengkungan sempurna layaknya bulan sabit yang menghiasi malam gelap terpatri dengan baik dikedua bola matanya, ketika gadis itu tersenyum.

Gadis itu. Tiffany Hwang, masih melangkah menyelusuri koridor panjang rumah sakit. Hari masih sangat pagi, namun semangat gadis itu begitu besar untuk melakukan aktivitas rutinnya. Menjadi dokter di sebuah rumah sakit swasta yang terletak di ibu kota Korea Selatan, Seoul.

Seoul Central Hospital (SCH) merupakan rumah sakit swasta terbesar dan terkenal dikota Seoul. Mengingat semua dokter dan suster ditempat itu adalah lulusan-lulusan terbaik Universitas Kedokteran di dalam maupun luar negeri. Sehingga memiliki pelayanan dengan kualitas terbaik yang selalu dibanggakan SCH sebagai salah satu rumah sakit utama yang terpandang di kota Seoul. Dan Tiffany sendiri, merupakan salah satu dokter terbaik di SCH lulusan Kedokteran di Harvard University. Gadis itu berhasil menyelesaikan Program Megister (S2)nya di Universitas terpandang itu. Saat ini, setelah hampir 6 tahun lamanya gadis itu meninggalkan Seoul dan memilih menetap di Amerika untuk melanjutkan studynya di Negeri Paman Sam tersebut, kembali dan mengabdikan dirinya pada SCH yang sebenarnya pun merupakan rumah sakit milik Hwang Seok Po, ayah kandungnya.

Gadis yang memiliki nama Korea, Hwang Mi Young, awalnya sempat menolak untuk bekerja di SCH yang jelas-jelas rumah sakit milik ayahnya sendiri. Ia tak ingin dianggap melakukan kecurangan hanya karena anak dari Kepala Direktur SCH tersebut. Karena biasanya bagi para Dokter yang akan masuk dan bekerja didalamnya akan menjalani tes yang sangat ketat dan sulit. Tak jarang, banyak Dokter-dokter muda yang merasa dirinya mampu dan cukup pantas untuk menjadi bagian SCH merasa frustasi dan lemah hanya karena gagal melewati tes tersebut. Karena itulah, Tiffany menolak jika appa-nya memberikan tempat untuknya di SCH secara cuma-cuma. Gadis itu tetap bersikeras untuk diperlakukan sama seperti yang lainnya. Jika memang appa­-nya tersebut memaksanya untuk bekerja di SCH. Hingga akhirnya Dr. Hwang menerima keputusan Tiffany.

Dan sekrang ini, tepat 3 bulan sudah Tiffany menjadi Dokter SCH secara resmi, tatkala gadis itu dinyatakan berhasil dan lolos seleksi. Ia pun ditempatkan dibagian Specialis Penyakit Dalam. Kini gadis cantik itu menangani beberapa pasien yang menderita berbagai macam penyakit dalam yang berbahaya. Dan salah satu pasiennya adalah…

 

Cleck… ….

 

 

“Selamat pagi, Im Yoona.”

“Pagi Dok..”

Tiffany tersenyum senang mendengar sahutan dari pasien cantiknya itu. Seorang gadis berusia 23 tahun yang memiliki rambut panjang lurus tergerai dengan indah melalui bahunya. Tubuhnya terbaring lemah diatas ranjang rumah sakit itu. Wajah gadis itu terlihat pucat, namun tak menghilangkan kecantikannya nyang dimiliki salah satu pasiennya tersebut. Yah, setidaknya itulah yang selama ini ada dipikiran Tiffany.

“Bagaimana keadaanmu? Siap melakukan hemodialisis hari ini?” tanya Tiffany sambil melangkahkan kakinya menuju ranjang gadis yang biasa dipanggil Yoona itu. Tak lupa sebelumnya, ia menutup pintu ruang inap dengan nomer 209 yang melekat diluar ruangan.

“Apa bisa aku menjawab tidak?”

Tiffany memincingkan matanya kearah Yoona saat gadis itu, menjawab pertanyaannya tanpa memandang wajah Dokter cantik itu. Bahkan memberikan jawaban yang membuat Tiffany mendengus.

“Jawabannya harus iya.” Tiffany membenahi letak selimut Yoona dengan benar dan memberikan penekan pada jawabannya atas pertanyaan Yoona.

“Dokter-”

“Eonnie! Bukankah aku sudah bilang untuk panggil Eonnie?”

Yoona tersenyum kecil menanggapi gerutuan Tiffany, “Nde, Eonnie… mian.”

Tiffany mendengus singkat, “apa yang ingin kau tanyakan, hmm?”

“Eonnie,”

“Nde?”

“Berapa lama lagi aku akan bertahan?” senyum Tiffany menghilang seketika, saat mendengar kalimat pertanyaan yang begitu lirih keluar dari bibir tipis Yoona.

Yoona menatap Tiffany yang terdiam. Lalu tersenyum lembut, dan menggapai tangan Tiffany yang tergeletak disamping tubuhnya. “Katakan saja! Aku ingin mengetahuinya.”

“Yoona…”

“Jawab saja dengan jujur! Nan Gwaenchana.”

Tiffany menghembuskan napas pelan. Lalu membalas genggaman Yoona, dan saat itu pula ia bisa merasakan dinginnya kulit Yoona. Gadis itu lalu terduduk dikursi yang terletak disamping ranjang Yoona. Menatap pasiennya itu penuh kasih sayang.

“Seharusnya bukan itu!”

Yoona mengernyit bingung ketika Tiffany berseru kepadanya.

“Kapan aku akan sembuh? Seharusnya itu pertanyaanmu.”

“Kenapa aku harus bertanya seperti itu?”

Tiffany tersenyum lembut. Sebelah tangannya, yang semula terdiam, ikut menggenggam tangan Yoona, mengeratkan pegangan tangannya pada tangan Yoona.

“Karena tentu saja, Eonni akan menjawab ‘Ya, secepatnya! Kau pasti akan sembuh, pendonor itu akan datang dan menyelamatkan nyawamu. Geokjomal!’”

Mata Yoona berair dan memerah. Bibir tipisnya bergetar, dan gadis itu berulang kali mengulum bibirnya sendiri, menahan isakan yang akan keluar dari mulutnya. “Eonnie…”

“Percayalah!”

“Haruskah?”

Tiffany mengangguk pelan namun penuh keyakinan. “Dengarkan Eonni!”

“Eonni hanya akan mengatakannya sekali, jadi dengarkan baik-baik, arraci?” Yoona menatap lekat wajah Tiffany yang begitu serius memandang kearahnya.

“Aku memang bukan Tuhan, tapi aku yakin kau masih memiliki kesempatan untuk hidup. Selagi kau terus berusaha, terus bedoa, bersabar dan yakin pada dirimu sendiri. Percayalah… Tuhan akan merangkulmu. Akan mengangkatmu dari lubang kesakitan ini. Semua ini hanya sesaat, kau hanya butuh waktu sedikitt lagi. Tuhan melihatmu, mendengar dan tau apa yang terbaik untukmu. Kau sedang diuji untuk mendapatkan sesuatu yang lebih indah dari ini. Ketika kau mampu melewati ini semua dengan ketegaranmu, kau akan dapatkan kebahagian yang bahkan tak pernah kau bayangkan nantinya.

Tuhan punya cara Yoona, walau saat ini kita tidak tau cara apa yang akan diberikan Tuhan untuk membuatmu kembali sehat. Tapi Eonni yakin dan percaya. Dia begitu menyayangi hamba-hambanya yang kuat dan sabar. Kau hanya perlu kuat dan lebih sabar lagi untuk menghadapi detik per detik hidup yang kau jalani saat ini.”

Tiffany menatap Yoona yang terdiam memandang langit ruangan itu dengan tatapan kosong, gadis itu mengerti kegundahan hati pasiennya itu. Walau ia baru mengenal Yoona selama 3 bulan ini sebagai Dokter pribadi, namun Tiffany memahami Yoona sebaik yang ia mampu.

“Eonni tau?”

“Hmm?”

Yoona memalingkan wajahnya pucatnya, dan menatap Tiffany sendu. “Alasan aku untuk bertahan hidup saat ini hanya karena dua hal.” Ucap Yoona lirih.

Tiffany tak menyahutinya, ia menunggu Yoona untuk melanjutkan ucapannya. Memandangi wajah gadis yang telah dianggapnya seperti adik kandung sendiri.

“Pertama… karena Soona. Kerena dia aku punya alasan untuk tetap membuka mataku setelah terlelap dari mimpi-mimpi burukku. Karena dia, aku tau. Aku masih dibutuhkan.”

Tiffany tersenyum, dan mengangguk pelan ketika Yoona menatapnya dengan mata yang berbinar penuh dengan cairan bening yang menggenanginya saat mengatakan hal itu. Yoona begitu menyayangi adiknya itu. Dan Tiffany tau dan yakin bahwa Soona adalah alasan utama gadis itu untuk bertahan. Walau ia sendiri, belum pernah melihat sosok Soona yang menurut cerita dari Yoona, merupakan sosok yang cantik dan ceria. Yoona pun selalu bilang, begitu merindukan adiknya tersebut. Namun tak mampu untuk bertemu saat ini, karena Soona harus menempuh pendidikan di Negeri Sakura, Jepang.

“Lalu, yang kedua?”

“Untukmu Eonni.”

“Nde?” Tiffany tersentak kaget, hingga memajukan wajahnya beberapa senti.

Yoona mengangguk, “karenamu. Aku yakin dan percaya, Tuhan masih berbaik hati padaku. Karena Dia telah mengirimkan malaikatnya untuk merawatku… menjagaku dan melindungiku. Dengan kelembutannya. Dan itu adalah kau, Eonni.” Airmata gadis itu mengalir dan kembali berucap lirih dan pelan, mengeratkan genggamannya ditangan Tiffany.

“Gomawo… Eonnie.”

Tiffany tidak mampu membendung airmatanya, ia tertunduk menahan isakannya. Membiarkan airmatanya membasahi kedua tangan mereka yang saling menggenggam. Tiffany menyayangi pasiennya ini, ingin membuat gadis itu menjalani harinya sama seperti gadis seumurannya diluar sana.

“Anio. Kau tidak perlu berterima kasih. Itu… sudah menjadi kewajiban Eonni.”

Yoona menggeleng pelan. “Eonni berbeda. Eonni merawatku, bukan semata-mata karena aku adalah pasienmu, tapi Eonnie merawatku selayaknya keluarga sendiri. Gomawo.”

Tiffany tersenyum lembut, tangannya menghapus pelan airmata yang mengalir dari mata indahnya itu.

“Kau memang adiku. Kau dan Soona sudah kuanggap sebagai adik kandungku sendiri. Walau Eonni baru bersamamu selama 3 bulan ini dan belum pernah bertemu dengan Soona. Tapi Eonni merasa begitu dekat dengan kalian.”

Keduanya terdiam sesaat, merenungkan sesuatu yang telah mereka alami selama ini. Hingga akhirnya suara lembut Yoona memecahkan keheningan.

“Eonnie…”

“Nde?” Tiffany mengelus lembut kepala Yoona, memberikan senyum terbaiknya.

“Maukah berjanji sesuatu padaku?”

“Jika Eonni mampu, akan Eonni lakukan.”

Yoona terdiam sesaat, “Maukah… Eonni menjaga Soona untukku?”

“Maksudmu?”

“Jika aku pergi. Jika aku tidak bisa bertahan. Jika ternyata Tuhan punya rencana lain dari semua harapan yang kumiliki. Maukah, Eonni menjaga Soona untukku. Menjadi kakak untuknya.”

“Yoona-yah-”

“Eonnie….” Suara Yoona bergetar, menginterupsi ucapan Tiffany. Lalu menatap Tiffany dengan genangan cairan bening dikedua bola matanya.

“Aku punya firasat yang tak mengenakan akhir-akhir ini. Dan ini membuatku sesak. Membuatku gelisah. Membuat aku… takut.”

Tiffany terdiam, merenungkan ucapan Yoona yang mengganjal. Yoona tidak seperti ini biasanya. Ia tak pernah melihat kekhawatiran yang begitu besar diwajah gadis itu. Jadi Tiffany tahu, kali ini Yoona tak hanya sekedar berucap.

“Apakah, kematianku sebentar lagi?”

Tiffany membelalakan matanya, menatap tak percaya pasien didepannya yang dengan gamblang mengucapkan kematiannya sendiri.

“Ya, Im Yoona! Bukankah Eonni sudah mengatakan sebelumnya? Kau hanya perlu kuat dan bersabar.”

“Aku lelah Eonni dan kesabaranku mulai habis.”

“Itu bukan kesabaran namanya!” Yoona terkaget dan menatap Tiffany yang sudah berdiri dengan kursi yang ia duduki sebelumnya terpental kebelakang. Napas Dokter cantik itu memburu, membuat dadanya bergerak naik turun.

“Sabar tidak akan pernah habis Yoona. Kesabaran adalah hal yang paling kaya yang dimiliki oleh manusia. Kesabaran akan terus ada hingga kita terkubur didalam tanah. Jika kau mengatakan hal demikian, berarti bukan sabar yang selama ini kau tanamkan. Tapi keculasan.”

“Kau mempermainkan dirimu sendiri Yoona. Kau mengejek nasibmu sendiri, berusaha terlihat baik dan tegar namun menertawakan diri sendiri atas pen-”

“Itu benar!”

Napas Tiffany masih memburu hebat, airmatanya mulai mengalir lagi membasahi pipi chuby-nya. “Itu benar.” Kata Yoona untuk kedua kalinya.

“Itu benar, Eonni….!” Tiffany menutup mulutnya tak percaya, menyaksikan Yoona berteriak didepannya untuk pertama kalinya. Melihat bagaimana keputus-asaan dalam diri Yoona.

Yoona mengepalkan kedua tangannya, berusaha menahan sesak didadanya.

“Aku mengkhianati diriku sendiri.” Ucap Yoona lirih. Dan Tiffany masih berusaha menenangkan perasaannya saat ini.

“Aku lelah Eonni. Aku lelah.”

“Berhentilah Yoona. Jangan lanjutkan pembicaraan ini lagi. Bersiap-siaplah! 2 jam lagi kau akan menjalani hemodialisis. Aku pergi!” Tiffany berbica dengan cepat memotong ucapan Yonna dan melangkahkan kaki keluar kamar.

‘Aku tidak ingin melihat airmatanya lagi. Aku tak ingin Soona cemas dan khawatir terus menerus. Tak ingin melihat gadis itu, selalu berontak kepada kedua orang tua kami. Aku tak ingin melihat Soona terluka.’

***

            Tiffany berjalan pelan, melewati koridor yang terlihat mulai ramai oleh kesibukan dipagi hari ini. Wajahnya terlihat sendu dengan kedua mata yang sedikit sembab. Bahkan ia mengacuhkan sapaan orang-orang yang memanggilnya. Ini tidak seperti biasanya. Tiffany adalah gadis ramah yang disukai banyak orang. Namun hari ini, ia terlihat begitu berbeda. Tak ada senyum diwajah gadis itu. Pikirannya melayang pada kejadian beberapa menit yang lalu didalam ruangan Yoona.

Ia begitu menyayangi Yoona selayaknya kakak kepada adiknya sendiri. Sehingga ia begitu terpukul ketika Yoona terlihat menyerah dan membiarkan dirinya sendiri kalah dengan permainan nasib.

Dokter berperawakan mungil itu masih berjalan dengan wajah merenungnya. Namun tak lama, langkahnya terhenti saat kedua telinganya menangkap sebuah suara yang terdengar dari saluran televisi yang ada didalam ruang tunggu. Yang biasanya digunakan para orang-orang yang kerabat atau rekannya dirawat di SCH, untuk beristirahat sejenak dan menenangkan pikiran.

Mata bulatnya yang sendu menatap tayangan yang diberitakan salah seorang reporter wanita yang tengah menjelaskan perihal masalah yang tengah diungkit dalam acara tersebut.

 

‘….. Seperti yang sudah kami jelaskan semula. Trouble Maker kembali berulah dengan korban yang berbeda. Seorang yang tewas didalam Apartement Vockl ini, merupakan pengusaha terkenal berinisial ‘KWJ’ yang diketahui pula merupakan CEO dari KIA Corp. Bahkan sebanyak lima orang polisi pun ditemukan tewas mengenaskan didalamnya. Jika KWJ sendiri dibunuh dengan pisau yang menancap didada kirinya serta tusukan dibagian tubuh lainnya. Maka anggota kepolisian Seoul yang tewas tersebut, diperkirakan tewas seperti rekan-rekan polisi sebelumnya. Yaitu, keracunan gas berbahaya yang disebut ‘Boomharvest’. Pihak kepolisian belum memberitahu hasil penyidikan mereka tentang kasus yang kembali mencengangkan kota Seoul selama 8 tahun berturut-turut ini. Bahkan mereka belum bisa mengindetifikasi siapa, Trouble Maker sebenarnya? ……. ’

 

 

Tiffany menatap kosong siaran televisi itu, ia berdiri mematung dengan wajah yang pucat pasi. Nyawanya seperti tercabut kembali dari tubuhnya, saat ia mendengar berita yang dibawakan wanita cantik yang berada didalam televisi tersebut. Lagi dan lagi, seperti ini.

Ia tak bereaksi, bahkan ketika seorang suster yang melewatinya memanggil namanya. Mencoba menyadarkan lamunan dokter cantik itu. Namun Tiffany masih tak bergeming dari tempatnya.

Gadis itu merasa waktunya berhenti, merasa kosong dan hampa. Merasa bahwa ia tak akan mampu untuk tetap berdiri tegak. Pikirannya melayang pada kejadian 6 tahun yang lalu. Hatinya berguman menyebutkan satu nama yang selalu terpatri dihatinya. Tangannya bergetar secara perlahan. Dalam sadarnya, bagaimana mungkin ia terlihat selayaknya orang suci yang mengatakan kekuatan dan tekad serta kesabaran penuh. Ketika ia sendiri, saat ini seperti ingin terlempar kedunia lain. Berlari sekuat tenaga menjauhi perkara ini. Menghindarinya, bersembunyi atau kalau perlu menguburkan diri agar tak dapat kedua mata dan telinganya meangkap berita yang menyesakkan relung hatinya yang rapuh.

“Dr. Hwang? Dokter…”

Tiffany tersentak, dan menatap heran wajah dua orang suster didepannya yang telihat khawatir kepadanya.

“Eoh?”

“Apa anda baik-baik saja dok? Keadaan anda terlihat buruk.” Ucap salah satu suster itu, menjelaskan kebingungan Tiffany yang belum sepenuhnya sadar.

“A-ani. Gwaenchana!”

“Jeongmalyo?”

Tiffany mengangguk dan memberikan senyum kecilnya. Matanya kembali kearah televisi itu. Namun berita yang dilihatnya tadi telah tergantikan dengan layanan advertising produk-produk yang dijual para perusahaan terkemuka di Korea.

Gadis itu membungkuk, saat dua orang suster itu berpamitan untuk kembali ke pekerjaan mereka.

Hening dan sepi. Itu yang dirasakan Tiffany saat ini. Padahal, jelas terlihat disekitarnya banyak orang yang hilir-mudik dengan kegiatan mereka masing-masing. Namun, entah mengapa gadis itu merasa ada yang hilang dalam dirinya. Dan ia sebenarnya tahu apa itu. Namun berusaha untuk mengelaknya saat ini. Setidaknya tidak untuk saat ini, pikirnya.

Diangkatnya tangan kanannya, lalu matanya menatap pergelangan tangannya yang terlilit sebuah benda berwarna hitam dan merah disekelilingnya. Terpasang indah dipergelangan tangannya. Gelang itu bukanlah benda mahal yang ia miliki, itu hanya gelang biasa. Terkesan sangat biasa. Namun entah mengapa, gadis itu masih mengenakannya. Dan menjadikan benda itu barang berharga yang harus selalu dibawanya.

Benda yang selalu mengingatkannya pada seseorang yang telah ia tinggalkan. Seseorang yang membiarkannya pergi tanpa berniat beranjak dari tempatnya saat itu, mencegah Tiffany meninggalkan orang tersebut. Seseorang yang mengajarkannya arti kehidupan dan kasih sayang. Seseorang yang membuatnya memiliki, cinta dalam kesendiriannya.

***

“Myungsoo eoddi?”

“Dia baru saja terbang ke Jepang, menemui Mr. Lee untuk menyerahkan dokumen yang diberikan Harabeoji semalam.”

Laki-laki itu mengangguk, “kapan dia pulang?”

“Besok pagi.”

“Mwooo?”

Laki-laki yang tengah terduduk disofa itu berteriak kaget, hingga mengangkat tubuhnya. “Ini gila! Nanti malam kita akan mencuri uang di Daimed Bank. Bagaimana mungkin ia baru pulang besok pagi?”

Laki-laki yang sejak dimulainya percakapan itu bahkan sebelum percakapan itu sibuk dengan alat yang dipegangnya. Mengerang kesal karena kesibukannya diganggu.

“Mwo?” tanya laki-laki pertama menantang.

“Berhentilah mengeluh Hyeong! Myungsoo tidak bisa pulang cepat, karena cuaca buruk melanda kawasan utara Jepang. Maka dari itu, Myungsoo menunda penerbangannya hingga malam nanti.”

“Dan berhentilah untuk bermain game, Cho Kyuhyun! Kita sedang dalam pembicaraan serius.” Teriak laki-laki itu lagi.

Laki-laki yang dipanggil Kyuhyun itu menghela napas kasar dan meletakkan PSP-nya diatas meja. Memandang datar wajah hyeong-nya yang terlihat frustasi.

“Lalu apa sekarang?”

Laki-laki itu menghempaskan tubuhnya diatas sofa berwarna cream itu. “Ini gila, jadi kita hanya berdua menjalankan tugas nanti malam?”

“Kita tidak akan mati, hanya karena tidak ada Myungsoo sehari.”

Laki-laki itu memejamkan matanya, menahan rasa geramnya. Merasa kesal ketika mendengar ucapan datar dari sang adik.

“Berhenti menjadi sok cool didepan ku, Cho Kyuhyun.”

“Gomawo.”

“Ya!” laki-laki itu melempar bantal kecil yang terdapat diatas sofa itu kearah Kyuhyun dan mendengus kesal tatkala melihat Kyuhyun tertawa puas dihadapannya.

“Ayolah Siwon Hyeong. Jangan terlalu serius.”

“Kau yang terlalu serius, brengsek.”

“Kita memang brengsek.” Kyuhyun mengangguk-anggukan kepalanya, menahan senyum saat melihat bola mata Siwon membulat sempurna.

“Kau yang brengsek! Aku… hanya sedikit kejam saja.”

“Hahaha… ya, kejam. Seperti Harabeoji.”

“Berhenti menyamakanku dengan laki-laki tua itu!”

Kyuhyun mengangkat kedua tangannya keatas, lalu menyandarkan tubuhnya pada sofa yang ditempati laki-laki itu. Mencoba mengalah saat merasakan aura pembunuhan disekitar Siwon.

“Haahhh, lalu siapa yang akan menyabotase sistem keamanan dan control room?”

“Molla.” Kyuhyun menggidikan bahu, “yang pasti bukan aku.” Kyuhyun tersenyum singkat melanjutkan ucapannya.

Siwon mendesah lelah, “Hyeong yakin, nanti malam kita akan mengalami trouble.”

“Yep, seperti nama kita ‘Trouble Maker’. Bukan begitu. Choi Siwon-ssi?”

            Siwon tersenyum sengit menanggapi ucapan Kyuhyun. Lalu keduanya kembali terdiam diruangan apartemen itu. Menenggelamkan diri mereka pada rentetan kisah yang mereka alami selama hampir sisa hidup mereka. Keduanya membayangkan, berapa lama lagi waktu yang mereka butuhkan untuk menyelesaikan semua ini?

***

“Hosh… hosh… hoshh…”

Kedua tangan gadis itu bertumpu pada kedua lututnya dengan sedikit membungkukkan badan untuk mengatur napas yang terus memburu. Mengambil pasokan oksigen sebanyak-banyaknya untuk tetap bisa bernapas dengan normal. Peluhnya telah membasahi wajah mungilnya yang terlihat kelelahan.

“Ohh, itu dia. Nonaaa….!”

Kedua mata gadis itu melebar, saat ia mendengar seruan dari suara yang dikenalnya. Kepalanya menoleh kebelakang, dan melihat tiga orang yang mengejarnya sejak tadi berhasil menemukan keberadaan gadis itu. Tanpa pikir panjang, kakinya yang sudah mati rasa itu. Ia paksakan untuk berlari menghindari kejaran orang-orang suruhan kedua orang tuanya tersebut.

Dengan tas ransel pink yang ia bawa dibelakang tubuhnya, gadis itu berlari secepat mungkin agar lolos dari orang-orang itu. Dalam hati, gadis itu terus berbisik. Memohon kepada Tuhan, untuk membantu aksinya kali ini.

“Ya Tuhan tolong berkati aku! Aku hanya ingin bertemu Eonni, jebal….”

Kedua matanya memerah menahan tangis, ia merasa napasnya semakin tercekat. Tanpa ia sadari, airmatanya mengalir membasahi kedua pipinya. Saat akan menlanjutkan aksi pelariannya, sebuah tangan menangkap lengannya dan langsung menarik tubuhnya untuk bersembunyi pada sebuah pilar yang berada disekitarnya itu.

Matanya yang bulat terbelalak lebar, saat tubuhnya tertarik dan menghantam dinding dibelakangnya. Dan kini ia bisa merasakan kehangatan tubuh seseorang yang mendekapnya, menahan kepala bagian belakangnya dengan tangannya yang kokoh agar tak terbentur dinding dibelakangnya. Menyembunyikan tubuh mungilnya pada tubuh tegap laki-laki didepannya.

“Si-siapa kau?” tanya lirih dengan bibirnya yang gemetar.

“Sstt, diamlah!”

“Ta-”

“Diamlah!”

Gadis itu memilih diam ketika laki-laki itu menyuruhnya untuk tetap diam dengan nada yang tegas. Badannya bergetar didalam dekapan laki-laki itu. Berusaha menahan detak jantungnya yang berdebar kencang. Ia pun bisa merasakan hembusan napas laki-laki yang berada dihadapannya itu, karena kepala laki-laki itu tertumpu diatas kepalanya.

“Sepertinya, mereka sudah pergi jauh.” Laki-laki itu melihat kesekeliling mereka. Memastikan orang-orang yang mengejar gadis itu sudah beranjak jauh dari tempat persembunyian mereka saat ini.

“Kau sudah aman.”

Gadis itu tersentak kaget, ketika laki-laki itu kembali bersuara. Berbisik tepat ditelinganya. Membuat bulu kuduk gadis itu meremang. Ketika laki-laki itu melepas pelukannya, gadis itu hanya dapat mematung tanpa berani mendongakkan kepalanya untuk menatap wajah laki-laki itu.

“Kau baik-baik saja?”

“Eoh, eoh.” Ucap gadis itu terbata, dengan mengangguk-anggukan kepalanya. Wajahnya yang semula menunduk, perlahan mulai terangkat dan memberanikan diri menatap wajah laki-laki yang menolongnya itu.

 

DEG.

 

Gadis itu berulang kali mengerjap-erjapkan matanya, saat kedua bola matanya menatap manik mata itu. Menatap mata elang yang terkesan dingin namun menghangatkan. Setidaknya itu yang ada dipikiran gadis itu sekarang.

“Lain kali berhati-hatilah!” kali ini reaksi tubuhnya menegang saat tangan itu kembali berada dikepalanya. Menepuk-nepuk pelan puncak kepalanya. Membuat semburat rona merah menghiasi kedua pipi.

Tanpa disadari gadis itu, laki-laki berpakaian serba hitam itu sudah melangkah jauh dari hadapannya. Dan tak mengucapkan salam perpisahan atau kata-kata lainnya. Begitu ia tersadar dari alam bawah sadarnya, tanpa komando sang gadis memanggil kembali penolongnya itu.

“Tunggu!”

Gadis itu berteriak terlalu kencan membuat orang-orang disekitarnya menoleh heran kearah gadis itu. Namun, gadis itu tak peduli, ia hanya mengharapkan laki-laki yang menolongnya tadi berhenti dan menoleh kearahnya.

Laki-laki itu memang berhenti, namun tidak menolehkan kepalanya.

“Siapa namamu?”

Wajah laki-laki itu terlihat datar tanpa ekspresi sesaat, dan tiba-tiba mengangkat sudut bibirnya. Suara laki-laki itu terkesan dingin dan tenang ketika menjawab pertanyaan gadis dibelakangnya, tanpa berniat untuk membalikkan badan atau menolehkan kepalanya. Jarak keduanya masih terbilang dekat, membuat laki-laki itu tak perlu berteriak kencang seperti apa yang dilakukan gadis dibelakangnya itu.

“Cho Kyuhyun.”

“Cho Kyuhyun? Ahh, baiklah Kyuhyun-sii terimakasih atas bantuanmu.” Senyumnya mengembang dengan sempurna disertai bungkukkan badannya yang begitu dalam, ketika mengungkapkan rasa terimakasihnya pada laki-laki yang membelakanginya itu.

“Hmm,” gadis itu baru saja akan bicara kembali namun terhenti ketika laki-laki itu menginterupsi ucapannya.

“Aku harus pergi. Berhati-hatilah lain kali.” Laki-laki yang mengaku bernama Kyuhyun itu, menyela ucapan gadis itu. Lalu melambaikan tangannya tanpa menoleh, karena harus beranjak dari tempat tersebut.

Gadis cantik itu menatap tak percaya, karena laki-laki itu kembali melanjutkan perjalanannya tanpa berniat menunggu ucapannya. Matanya masih mengawasi langkah tegap laki-laki itu hingga menghilang pada sebuah belokan. Tak jauh dari tempat mereka berdiri itu.

“Kenapa pergi begitu saja? Huft, bahkan aku belum sempat memperkenalkan diri.” Bahunya merosot dengan kepala yang tertunduk. Sepertinya gadis itu begitu kecewa karena sikap laki-laki itu.

“Semoga kita berjumpa lagi.” Ia menyeret langkah kakinya dengan tak semangat. Dengan mulut yang terus berkomat-kamit menggumankan sesuatu, gadis itu melangkah menuju pintu masuk keberangkatan pesawatnya menuju Seoul. Seakan lupa dengan bahaya yang mengintainya beberapa saat yang lalu. Gadis itu terus berpikir tentang laki-laki yang menolongnya.

“Soona, kau memang bodoh karena membiarkannya pergi tanpa mengetahui namamu. Huhhh…..”

***

            Seorang laki-laki berperawakan tinggi dan tegap melangkah dengan cepat dan terlihat sangat hati-hati. Saat akan berbelok pada sebuah tikungan didepannya, ia melompat melawati teralis dilantai 9 gedung itu. Menggunakan alat bantu seperti pencapit untuk mencengkeram pegangan teralis tersebut yang akan membantu menyangga tubuhnya melalui teralis tersebut. Laki-laki itu melangkah dengan pasti dan hati-hati, melewati lorong panjang yang terdapat cctv. Ketika diyakininya bahwa ia telah melewati cctv itu. Kembali laki-laki itu melompatinya, melewati teralis tersebut dan kembali berjalan menelusuri lorong itu dan masuk pada sebuah pintu yang didalamnya terdapat tangga darurat yang akan menghubungkannya pada jalan keluar gedung tersebut. Matanya menatap tajam sebuah cctv yang ternyata terpasang pula pada setiap lantai yang akan dilaluinya pada jalan tangga darurat yang gelap itu.

Dooorr…. ..

 

Dooorrr.. ..

 

Doorrr…. …..

Suara tembakan terdengar disetiap lantainya. Ada sebanyak 9 tembakan yang menghancurkan cctv tersebut, membuat laki-laki yang mengenakan masker hitam untuk menutupi sebagian wajahnya dan hanya memperlihatkan mata tajamnya itu, mengangkat sudut bibirnya dan memandang remeh pada apa yang baru saja dilaluinya. Tangannya kembali memasukkan pistol miliknya pada saku dalam jaket yang dikenakannya. Lalu membuka pintu itu untuk bergegas keluar dari gedung tersebut.

Namun tanpa diduga, ketika ia baru saja akan keluar dari pintu bawah gedung bertingkat itu. Beberapa orang berpakaian polisi menghadang jalannya. Wajahnya terlihat tenang dan tidak menunjukkan rasa takut pada kelima orang polisi yang tengah menodongkan pistol mereka kearahnya. Laki-laki itu mengangkat kedua tangannya keatas. Kini matanya menatap tajam kearah mereka. Karena sebagian wajah bawahnya yang tertutup masker, membuat orang lain yang melihatnya akan sangat jelas melihat tatapan tajam laki-laki itu.

“Serahkan tas itu! Dan lepas maskermu!”

Laki-laki itu tanpa berkata apapun, dengan perlahan melepaskan tas ransel yang dikenakannya dibelakang punggungnya. Setelah tas itu terjatuh tepat dibelakangnya, laki-laki itu kembali menaikkan kedua tangannya tanpa berniat membuka masker yang menutupi wajah tampannya.

Sebuah suara yang tersambung pada bluethoot headset-nya, membuat seringai kecil muncul dibalik masker yang digunakannya.

“Lepaskan maskermu!” Laki-laki itu tetap terdiam tak bergerak, memandang biasa kearah polisi-polisi itu.

Karena tidak mendapatkan respon baik dari laki-laki bermasker itu. Pimpinan polisi itu menyerukan tugas kepada anak buahnya.

“Jangan bergerak atau kami akan menembakmu. Borgol dia!”

Dua orang dari polisi itu bergerak maju, masih dengan pistol yang mengacung kearah laki-laki itu. Keduanya semakin mendekat dengan meletakkan kedua pistol mereka disisi kepala laki-laki bermasker itu. Salah satu polisi disisi kiri laki-laki bermasker itu menggerakkan tangan kosongnya, untuk melepaskan masker diwajah laki-laki tersebut.

Doorrr….

 

Doorrr….

 

Kedua polisi itu tergeletak tak berdaya, dengan darah segar yang keluar dari kepala mereka yang tertembak tepat menembus otak mereka. Dan kesempatan itu tidak disia-siakan laki-laki bermasker itu, diambilnya kembali tas ransel yang sebelumnya telah diletakkan dibawah kakinya. Lalu menghantam seorang polisi lainnya yang melangkah maju kearahnya dengan tas rasel tersebut. Membuat polisi lainnya yang baru saja akan memberikan tembakannya tersungkur diatas tanah.

Laki-laki bermasker itu berlari menjauh dari tempat itu.

Melihat buronan mereka melarikan diri, kelima orang polisi yang tersisa mulai melakukan pengejaran.

“Tembak dia!”

Suara tembakan menggema ditempat itu, dimalam yang selarut ini. Didepan sebuah gedung Bank terbesar di Seoul, Daimed Bank. Polisi yang tersungkur tadi berusaha bangkit, namun baru saja akan terbangun sebuah kaki panjang menginjak dadanya dengan pistol yang mengacung didepan wajah polisi tersebut. Membuat tubuhnya kembali menghantam tanah dengan keras, suara rintih kesakitan terdengar dari bibir polisi itu. Dalam hitungan detik, peluru panas itu menembus kepala polisi tersebut, dan mati tak berdaya dibawah kaki laki-laki yang masih menginjak dada polisi tersebut. Laki-laki lain yang memakai masker hitam yang menutupi wajahnya itu, menyeringai puas melihat ketiga orang polisi yang mati karena tembakannya itu tergeletak tak berdaya. Kepalanya menoleh melihat lima orang polisi yang masih melakukan pengejaran terhadap salah satu rekannya yang berhasil membawa sejumlah uang hasil curiannya didalam Bank tersebut.

Laki-laki yang membawa tas ransel itu masih berlari menghindari kejaran para polisi tersebut. Namun tanpa diduga, sebuah timah panas menembus belakang bahu sebelah kanannya. Membuat bercak merah keluar dari bagian tubuhnya itu. Laki-laki itu menggigit bibir bawahnya, mengumpat kesal dalam hati karena polisi-polisi itu berhasi menembakkan pelurunya kedalam tubuh laki-laki itu. Meski ia telah mendapat cidera ditubuhnya, laki-laki itu tidak menghentikan langkahnya untuk terus berlari menghindari kejaran pasukan polisi-polisi itu. Hampir saja, para polisi itu akan kembali memberikan tembakan kedua pada tubuhnya. Namun, kawanan laki-laki bermasker hitam lainnya menghadang langkah para polisi tersebut, mengepung mereka dengan tangan kosong. Jumlah mereka yang jauh lebih banyak dari para polisi itu, mengelilingi para polisi dan tak memberi celah untuk kelima polisi itu keluar dari lingkarang besar mereka. Dengan pistol yang masih ditangan kelima polisi itu, mereka menodongkan pistol-pistol mereka kearah kawanan laki-laki bermasker didepan mereka.

“Tembak mereka!”

Belum sempat para polisi itu menembakkan peluru mereka ketubuh para gerombolan penjahat dihadapan mereka. Orang-orang bermasker itu, melumpuhkan gerakan polisi-polisi itu dengan gas beracun yang mereka keluarkan dari botol kecil yang mereka bawa dari masing-masing kantung celana mereka –boomharvest–. Membuat para polisi itu terjatuh keatas tanah dengan mulut yang mengeluarkan busa putih. Dan dalam hitungan detik para polisi itu mati tak berdaya.

Melihat kematian para polisi itu, salah satu dari mereka yang memiliki tatapan yang paling tajam dengan rambut depannya menutupi sebagian matanya melangkah maju dengan kain hitam ditangannya. Ia merupakan pimpinan dari gerombolan laki-laki bermasker itu.

Laki-laki itu berjongkok dihadapan salah satu polisi tersebut –yang merupakan komandan dari polisi-polisi itu–. Meletakkan kain hitam berbentuk persegi diatas wajah polisi itu. Lalu tangannya merogoh sesuatu yang ada dibalik jaketnya. Mengambil sebuah tabung berisikan cairan berwarna merah, dan menyemprotkan tintanya pada kain hitam tersebut, menuliskan dua kata yang biasa dituliskannya pada setiap kain hitam lainnya.

TROUBLEMAKER

***

            Laki-laki yang tadi terkena tembakan dibahunya tersebut, mengumpat kesal karena tembakan yang dilayangkan polisi itu terasa sangat nyeri dibagian bahunya. Membuat pergerakannya melambat. Tangannya yang memegang tas ransel hitamnya, mencengkeram bagian lengan kanannya. Menahan sakit yang melanda bahunya.

Hyeong, gwaenchana?

“Eoh, apa sudah kau bereskan polisi-polisi itu?”

Nde, Hyeong. Seperti biasa, semua berjalan lancar.

“Baguslah! Brengsek, bahuku terasa keram.”

Terdengar suara tawa disebrang sambungan itu, membuat laki-laki yang terluka itu mendengus sebal.

“Diamlah!”

Myungsoo, pasti akan meledekmu habis-habisan karena kejadian ini.

“Tsk, ya… ya. Kalian memang adik kurang ajar. Ngomong-ngomong Myungsoo, aku akan menghukumnya. Ini semua karena kebodohannya” ucap laki-laki parau dengan langkah yang sedikit terhuyung karena darahnya terus mengalir dari bahunya.

Siwon Hyeong, kau benar baik-baik saja kan? Cepatlah pulang, aku akan mengobati lukamu. Suaramu terdengar buruk..” balas Kyuhyun tak mengindahkan gerutuan hyeong-nya tentang Myungsoo.

“Arraseo,” Siwon –laki-laki yang tertembak itu– memasuki mobilnya, tak mampu berkata lebih banyak lagi. Karena kini ia merasa seluruh tubuhnya melemas. Dan meletakkan tas ransel berisikan jutaan dolar didalamnya, diatas jok mobil tepat disamping ia dudukan tubuhnya kini, “Hyeong akan ke apartement terlebih dulu, kita bertemu disana.”

Baiklah Hyeong, aku akan meluncur keapartement-mu. Berhati-hatilah!

“Nde.”

Siwon mematikan sambungan telepon mereka lalu segera membawa mobil audi putihnya menuju apartement milikinya dikawasan Gangnam. Wajahnya terlihat pucat, bahkan berkali-kali Siwon meringis kesakitan dengan darah yang terus mengalir dari bahunya yang membuat bajunya terkena noda darah itu.

“Brengsek! Untung polisi itu sudah mati.”

Siwon terus menggerutu sambil melepaskan masker yang dikenakannya dengan kasar, lalu menghempaskannya kesembarangan arah. Tangan kirinya masih sibuk memegangi bahunya selama perjalanannya, ia begitu sibuk menahan rasa sakit yang mendera bahunya itu. Hingga tanpa ia sadari mobilnya hampir saja menabrak seseorang didepannya. Dengan cepat, Siwon menginjak pedal remnya. Membuat tubuhnya terhuyung kedepan dengan kepala yang terbentur setir mobil didepannya. Siwon mengerang kesal dan terdiam karena merasakan pening dikepalanya.

***

            Tiffany yang saat itu sedang menyetirkan mobilnya untuk pulang menuju rumahnya, menghentikan laju mobil pink-nya ketika ia melihat seorang nenek yang berdiri dipinggir jalan menunggu untuk menyebrangi jalan tersebut. Nenek itu lalu terduduk dengan wajah letihnya membuat Tiffany merasa iba. Dengan perlahan Tiffany menepikan mobilnya dan segera turun dari dalam mobil dan menghampiri nenek itu.

“Annyeonghaseyo Halmonie.”

Nenek itu mengangkat wajahnya ketika mendengar suara lembut Tiffany didepannya. Dan membalas senyum manis Tiffany. Gadis cantik itu berjongkok dihadapan sang nenek yang tengah terduduk ditrotoar itu.

“Apa halmonie ingin menyebrang jalan ini?” tanya Tiffany, masih dengan senyum terbaiknya.

“Nde, tapi Halmonie sangat lelah sekarang. Maka dari itu, Halmonie istirahat terlebih dahulu disini.” Jawab nenek itu pelan. Membuat Tiffany merasa prihatin. Dalam hatinya ia bertanya, kemana keluarga nenek ini. Kenapa wanita setua ini dibiarkan sendiri dimalam yang sedingin ini.

“Ayo Halmonie, biar saya bantu untuk menyebrang.”

“Ah, tidak perlu nak. Halmonie bisa sendiri, lagipula jalanan sudah sepi.”

“Anio, biar saya gendong halmonie sampai kesebrang sana. Walau ini sudah larut malam, tapi jalan ini masih rawan kecelakaan.” Kata Tiffany berusaha meyakini nenek itu. Lagipula, apa yang dikatakan Tiffany tidak ada yang salah. Jalan ini memang sering terjadi kecelakaan, dan ia tak ingin sampai terjadi sesuatu pada nenek ini.

“Ayolah, naik kepunggung saya.” Tiffany kembali berkata sambil berjongkok membelakangi sang nenek. Terlihat dari wajah nenek itu sedikit ragu, namun melihat ketulusan Tiffany akhirnya sang nenek naik keatas punggung Tiffany.

Dengan perlahan Tiffany membawa nenek itu menyebrangi jalanan yang memang terlihat sepi itu. Dengan langkah perlahan, Tiffany menggedong nenek itu. Tiffany menoleh kearah nenek itu dan tersenyum, dari matanya ia bisa melihat gurat keletihan yang nampak sangat jelas diwajah sang nenek. Lalu ketika kakinya sudah berada disebrang jalan lainnya, Tiffany menurunkan tubuh wanita tua itu dengan hati-hati.

“Gomawoyo-.”

“Tiffany! Tiffany Hwang.” Sela Tiffany dengan nada ceria. Membuat nenek itu mengangkat kedua sudut bibirnya. Tersenyum senang melihat wajah cantik itu tersenyum lembut padanya.

“Gomawoyo Tiffany-ssi.” Ucap sang nenek tulus.

“Ani, jangan sungkan seperti itu halmonie. Saya tidak melakukan sesuatu yang berarti.”

“Kau menggendong halmonie sampai sini, kau bilang tak berarti? Dasar kau ini.” Ucap nenek itu kembali dengan nada marah yang dibuat-buat. Membuat Tiffany tersenyum malu.

“Apa saya perlu mengantar halmonie sampai rumah? Dimana rumah halmonie?”

“Anio, tidak perlu repot-repot. Rumah halmonie, dipersimpangan jalan itu, hanya jalan sebentar saja. Mampirlah kerumah halmonie jika ada waktu nanti.”

“Jinjja? Jadi saya bisa main kapanpun saya mau?” tanya Tiffany dengan mata berbinar.

“Geureyo.” Jawab nenek itu dengan senyum menenangkan. Tiffany langsung memeluk nenek itu, membuat sang nenek sempat terkaget karena gerakan tiba-tiba dari Tiffany. Dan tak lama membalas pelukan gadis cantik itu.

“Ya sudah, halmonie harus pulang sekarang begitu juga dengan kau. Gomawo atas bantuannya.” Ucap sang nenek setelah melepaskan pelukan Tiffany.

“Nde, chenmaneyo.”

Nenek itu baru saja akan melangkah pergi, namun kembali membalikkan badannya. Menatap Tiffany yang masih ditempatnya untuk memastikan bahwa nenek itu sampai rumah dengan selamat.

“Waeyo Halmonie?”

“Pulanglah, tidak perlu menunggu Halmonie seperti itu.”

“Anio, saya ingin memastikan Halmonie kembali dengan selamat.”

“Aigooo, geureyo! Annyeong.”

“Annyeonghaseyo.” Tiffany membungkuk kembali dan memperhatikan sang nenek jalan dengan perlahan menuju rumah yang berada dibelokan gang itu. Setelah nenek itu masuk kedalam gang dan memastikan bahwa sang nenek baik-baik saja. Tiffany membalikkan badan, dan kembali menyebrangi jalan sepi itu.

Namun tanpa disadarinya dari arah samping kirinya, sebuah mobil audi berwarna putih melaju kearahnya. Saat ia sadar bahwa ada sebuah mobil yang siap menghantam tubuh mungilnya, Tiffany langsung memejamkan matanya erat.

 

“Akhhh….”

Dengan reflek Tiffany berjongkok dan memejamkan matanya sambil menutup kedua kupingnya dengan kedua tangannya. Tubuhnya gemetar, dengan peluh yang membasahi pelipisnya. Setelah beberapa menit ia terdiam dengan napas yang memburu dan detak jantung yang berdebar kencang, secara perlahan dibukanya kedua mata indah itu menatap kesekitarnya yang sepi dan hening. Dengan hati-hati, ia tolehkan wajahnya kearah kiri tubuhnya, dan seketika matanya menyipit karena sorot lampu mobil didepannya menghalangi pandangannya.

Dengan tubuh yang masih bergetar hebat. Tiffany berdiri dari jongkoknya dengan tangan yang berpegangan pada kap mobil putih itu. Matanya tak melihat siapapun didalam mobil itu, maka dengan langkah perlahan Tiffany memberanikan diri melihat lebih jauh kedalam mobil itu. Seketika matanya terbelalak dengan mulut yang terbuka lebar dan tertutup dengan tangannya. Ketika dilihatanya seorang laki-laki yang menenggelamkan kepalanya diatas setir mobilnya.

‘Apa yang terjadi? Apa dia terluka?’

Tiffany mengetuk pelan kaca mobil itu, berharap orang yang didalamnya akan segera membuka pintunya. Karena tak ada respon dari orang itu, maka Tiffany menggedor kaca mobil itu dengan kencang. Terlebih ketika ia tidak menerima respon dari laki-laki didalam mobil itu.

“Ya! Tolong buka pintunya!”

Tiffany masih berusaha menyadarkan orang yang ada didalam mobil itu. “Ya! Buka pintunya!”

Tiffany terdiam sesaat ketika ia mendengar suara yang berasal dari mobil itu. Saat sadar itu suara pintu terbuka. Dengan segera, Tiffany membuka pintu mobil itu. Dan langsung mendekati tubuh laki-laki yang masih menundukkan kepalanya tersebut.

“Apa kau baik-baik saja?” tanya Tiffany langsung, dengan merangkul laki-laki itu dan berusaha melihat kondisinya. Darah segar langsung mengenai sweeter pink-nya ketika tangannya menyentuh pundak laki-laki itu, membuat Tiffany tersentak kaget. Lalu, Tiffany mengangkat tubuh laki-laki itu pelan untuk melihat wajah laki-laki yang tengah dirangkulnya itu.

“Tuan, apa kau-” mata Tiffany terbelalak ketika kedua manik matanya itu menatap sosok yang ada didekapannya itu. Melihat wajah pucat dengan mata yang tertutup rapat itu, membuat Tiffany memandang tak percaya dengan apa yang ada dihadapannya kini.

“Choi Siwon?”

[to be continued]

130 pemikiran pada “TROUBLEMAKER 1

  1. Wah tiff jadi dokter , siwon yang jadi penjahatnya . Suka2 , kalo diperhatiin yang bantu soona tadi pasti bukan kyu melainkan myungsoo ada2 aja . Aku suka ff ini . Ini pertama aku baca ff ini jadi mulai dari awal part 1 .

  2. Psti siwon orang yg dtnggal ma fany..
    Trus yg di bndra psti myungsoo kan..??
    Pi knpa dia mlah ngaku2 jdi kyuhyun..??
    Hadehh..
    Oh ya,,knpa mrka ber-3 jdi pembnuh gni..msih g’ ngerti..hehe

  3. Dulu kayanya uda pernah komen di ff ini sih, tapi berhubung ada postingan baru dan *maaf banget* aku lupa critanya, jadi ini ulang baca.. sekalian aja ulang komen lagi..
    begitu baca paragraf pertama langsung inget sih, kisah dokter dan penjahat yg dulunya pernah pnya hubungan khusus yaaa.. suka banget sama ff yg action2 ginii..
    lanjut ke part selanjutnya dulu yaa..

  4. Wewewew… aaaah sifany kyuna again!! 😍😍
    Apanih? Sifany jadi mantan yak? Aah kenapa bisa putus gitu?
    Cielaaah Myungsoo bisa aja ngaku ngaku kyuhyun><

  5. Cba buka2 library n ktmu ff ini.. dulu kyknya ud sempat baca,tpi pengen ulang lagi..
    Ff action plus kisah percintaan sifany yg rumit. Nice story. Next baca part 2 dulu.heee

  6. Wow….ff action.
    Aiggo…..fanynya jadi dokter yg sangat baik dan ramah,saya karakternya fany disini.
    Whattt……siwon jadi pembunuh,kyuhyun dan myongsoo mereka ber3lah troublemaker,gak nyangka.
    Aiyoo…..fany hampir aja ketabrak,yg menabrak ternyata siwon,dan apakah siwon yg dimaksud fany adalah masa lalunya yg 6thn yg lalu,waduh 6thn itu lama loh fany.
    Aiyooo….makin penasaran nih part selanjutnya.
    Daripada penasaran baca next partnya.
    Thanks buat author dan ffnya.

  7. Dua kali nih bc yg genreny action n siwon jg yg jd penjahatny. aplg ini squel dr 41days yg msh bnyk blm terungkp. khususny hub SiFany n skrg mrk ktm lg stlh pisah. wah mkin penasaran..

  8. Tiffany jadi dokter,apalagi ini sequel dari 41 Days makin penasaran ama hubungan sifany. Dan belum paham kenapa siwon berbuat kejahatan.

Tinggalkan Balasan ke arni07 Batalkan balasan